TNTN – Pada malam yang lengang di sebuah jalan raya di Perak, Malaysia, seekor induk gajah berdiri terpaku di tengah aspal yang dingin. Di hadapannya, tubuh mungil anaknya terbujur kaku, tak bernyawa, ditabrak truk yang melaju terlalu cepat di jalur yang sejatinya bukan milik manusia saja.
Ia tidak menjerit. Tapi dunia tahu: hatinya hancur. Belalainya menyentuh lembut tubuh anaknya, menepuk, mengangkat, menggoyang. Seolah berkata, “Bangunlah, Nak. Ini belum waktunya.”
Tapi anak itu tetap diam. Dan induknya tetap di sana, menjaga, menolak pergi, bahkan saat cahaya sirine dan manusia datang menghampiri.
Lebih dari Seekor Anak, Ia Adalah Separuh Nyawa. Bagi seekor induk gajah, anak bukan hanya keturunan. Ia adalah nadi kehidupan.
Sejak hari pertama dilahirkan, anak gajah tak pernah jauh dari sisi ibunya. Ia belajar berjalan dengan mengikuti langkah-langkah berat sang induk. Ia belajar menyusu, bermain, berlindung, mengenal dunia semua melalui bimbingan penuh cinta dari sang ibu. Bahkan ketika ia tersandung, yang pertama datang menolong adalah belalai hangat ibunya.
Ikatan ini tidak bisa dilihat dengan mata biasa, tapi bisa dirasakan, dari cara induk gajah menjaga anaknya saat tidur, dari rintihan lirih saat anaknya menghilang walau hanya sebentar, dan dari air mata yang tak terlihat saat si kecil tak pernah kembali.
Gajah Juga Berduka, Penelitian ilmiah telah membuktikan: gajah merasakan duka, bahkan kehilangan, seperti manusia. Ketika anaknya mati, induk gajah menunjukkan tanda-tanda berkabung yang menyayat hati. Ia akan menyentuh tubuh anaknya berulang kali, mencoba membangkitkannya. Ia bisa berjaga di samping tubuh anak itu selama berjam-jam, bahkan berhari-hari, menolak makan dan enggan bergabung kembali dengan kelompok.
Gajah yang berduka juga menunjukkan perubahan perilaku. Mereka lebih pendiam, menjauh dari kawanan, atau bahkan menjadi agresif. Ini bukan hanya trauma. Ini adalah kesedihan. Luka yang tak terlihat, tapi dalam. Dan tak semua bisa pulih sepenuhnya.
Apa yang terjadi malam itu bukanlah insiden pertama. Jalan raya yang membelah habitat adalah ancaman senyap yang terus mengintai satwa liar, terutama gajah yang memiliki jalur migrasi turun-temurun.
Ketika pohon-pohon diganti dengan aspal, dan hutan menjadi deretan lampu jalan, para gajah kehilangan arah. Mereka tersesat. Mereka bingung. Dan kadang, mereka kehilangan yang paling mereka cintai.
Anak gajah yang mati malam itu hanyalah satu dari banyak korban diam yang tak sempat bersuara. Tapi jerit sunyi induknya sudah cukup mengguncang dunia.
Apa yang Bisa Kita Lakukan? Kita bisa menutup mata dari berita. Tapi kita tidak bisa menutup hati dari kenyataan: alam sedang meminta kita kembali peka.
Gajah bukan hanya “hewan besar”. Mereka punya keluarga, cinta, dan duka. Jika kita membiarkan satu demi satu dari mereka kehilangan anak, kehilangan ruang hidup, kehilangan hak untuk hidup damai, maka sejatinya, kita sedang kehilangan sisi kemanusiaan kita sendiri.
Di Taman Nasional Tesso Nilo, kami melihat keindahan hubungan induk dan anak gajah setiap hari. Mereka saling menjaga, saling menguatkan, saling belajar. Kami tahu: kehilangan satu anak gajah bukan sekadar kehilangan satu individu. Itu adalah kehilangan masa depan, kehilangan harapan.
Kisah dari Malaysia ini bukan hanya berita duka. Ia adalah pengingat: bahwa cinta seorang ibu—bahkan yang tidak berbicara bahasa kita—adalah kekuatan paling murni yang pernah ada. Mari kita jaga mereka. Bukan hanya karena mereka butuh kita. Tapi karena dunia ini jauh lebih indah saat gajah dan anak-anaknya bisa berjalan berdampingan, bebas, dan utuh.
“Jika induk gajah bisa berduka seperti kita, tidakkah kita bisa mencintai seperti mereka?”